Sabtu, 28 April 2012

Review: Winnie the Pooh (2011)




Dalam era ketika setiap studio film berusaha untuk menampilkan teknologi termutakhir mereka dalam menggarap sebuah film animasi, rasanya cukup mengherankan untuk melihat Winnie the Pooh. Film yang menjadi kali kedua bagi Walt Disney Animation Studios dalam mengadaptasi kisah anak-anak populer karya penulis Inggris, A. A. Milne, ini sama sekali tidak ditampilkan dengan durasi yang panjang atau dengan teknologi tingkat tinggi yang mampu membuat setiap orang terpesona atau dengan mengadaptasi teknologi 3D yang rasanya saat ini sama sekali tidak dapat dihindarkan tersebut serta sama sekali tidak menggunakan talenta suara aktor maupun aktris Hollywood ternama dalam mengisikan suara setiap karakternya. Jika ada yang ingin dicapai oleh Winnie the Pooh, maka hal itu adalah sebuah keinginan untuk membawa kembali semua kenangan indah penontonnya tentang tujuh karakter favorit mereka sekaligus menarik banyak penggemar baru dari kelompok penonton muda yang akan dengan mudah jatuh cinta dengan film ini.
Anda harus kembali ke tahun 1960an untuk menyimak kembali bagaimana Walt Disney mengadaptasi sebuah seri buku cerita anak-anak dan menjadikannya salah satu franchise tersukses dan paling dicintai hingga saat ini. Film pertama dari seri Winnie the Pooh sendiri dirilis pada tahun 1977 dengan judul The Many Adventures of Winnie the Pooh yang berisi tiga segmen cerita yang berbeda dan diadaptasi dari tiga seri buku cerita Winnie the Pooh karya Milne. Film tersebut mendapatkan pujian luas dari kritikus film dunia yang memuji bagaimana Walt Disney tetap mempertahankan gaya ilustrasi E. H. Shepard yang terdapat di setiap buku cerita Winnie the Pooh sehingga menjadikan The Many Adventures of Winnie the Pooh terkesan seperti sebuah ‘buku cerita yang hidup.’
Seri Winnie the Pooh terbaru, yang disutradarai oleh Stephen J. Anderson dan Don Hall serta mendapatkan supervisi dari John Lasseter, juga mempertahankan kesan yang telah dibuat oleh film pertamanya tersebut. Pun begitu, jangan mengira bahwa Winnie the Pooh akan tampil minimalis jika dibandingkan dengan film-film animasi yang banyak dirilis akhir-akhir ini. Penggunaan teknik animasi tradisional yang digunakan – yang telah terbukti berhasil pada The Princess and the Frog (2009) dan Tangled (2010) – tetap mempertahankan penggunaan warna-warna cerah alami sehingga menjadikan setiap karakter dan lingkungan tempat cerita mereka berada dapat tetap tampil menyenangkan untuk dilihat.
Winnie the Pooh sendiri diadaptasi dari beberapa cerita petualangan Winnie the Pooh dan teman-temannya yang ada dalam beberapa buku cerita Winnie the Pooh karya Milne. Dikisahkan, Winnie the Pooh (Jim Cummings) terbangun dari tidurnya dan menyadari bahwa ia telah kehabisan madu yang selalu menjadi makanan favoritnya. Setelah selesai mencari ke seluruh sudut rumah, Pooh akhirnya bergerak keluar dari rumahnya, berusaha untuk menjumpai teman-temannya dan meminta persediaan madu mereka… walaupun kemudian akhirnya terjebak dalam serangkaian kejadian yang menghalangi perutnya untuk merasakan kenikmatan madu sesegera mungkin.
Hambatan pertama yang ia hadapi datang ketika ia menjumpai Eeyore (Bud Luckey) dan menyadari bahwa Eeyore telah kehilangan ekornya. Pooh akhirnya memberitahukan hal tersebut pada Christopher Robin (Jack Boulter) yang kemudian membuat sayembara bagi para penghuni Hundred Acre Wood untuk dapat menemukan ekor Eeyore yang hilang. Ketika sayembara tersebut berlangsung, Pooh, Eeyore, bersama sahabatnya, Tigger (juga diisisuarakan oleh Jim Cummings), Rabbit (Tom Kenny), Owl (Craig Ferguson), Piglet (Travis Oates), Kanga (Kristen Anderson-Lopez) dan Roo (Wyatt Dean Hall) kemudian menemukan Christopher Robin telah menghilang dengan kemungkinan bahwa ia telah diculik oleh seorang monster bernama The Backson. Kini, mereka semua bersatu dan berusaha untuk membuat sebuah jebakan untuk menangkap The Backson dan merebut kembali Christopher Robin.
Plot cerita Winnie the Pooh – terlepas dari kenyataan bahwa dikerjakan oleh sepuluh orang penulis naskah – adalah begitu sederhana, mudah ditebak dan sangat kekanak-kanakan dengan  sejumlah cerita berusaha menyelipkan pesan mengenai arti sebuah persahabatan. Pun begitu, entah mengapa, setiap penonton kemudian kemungkinan besar akan menemukan diri mereka terperangkap dalam petualangan sederhana tersebut, tertawa melihat berbagai kebodohan yang dilakukan Pooh dan sahabatnya serta tersentuh melihat keakraban mereka. Jelas, faktor kenangan akan karakter-karakter ini di masa kecil setiap penonton memegang peranan penting mengapa Winnie the Pooh tetap mampu tampil menarik dan memikat.
Yang paling menarik dari film ini adalah cara Anderson dan Hall dalam menceritakan petualangan  Winnie the Pooh dan sahabatnya. Dihantarkan oleh narasi John Cleese, penonton seperti diajak berinteraksi dengan setiap karakter ketika mereka terlihat sadar bahwa mereka sedang berada dalam sebuah buku cerita, menggunakan deretan huruf-huruf dalam sebuah paragraf dalam tindakan mereka dan bahkan berhenti untuk berinteraksi dengan narasi yang sedang menceritakan kisah film tersebut. Ini masih ditambah dengan iringan lagu-lagu karya Robert Lopez dan duo She & Him, Zooey Deschanel dan M. Ward. Vokal Deschanel yang lembut, namun sangat kaya dan komikal, sangat sesuai dengan jalan cerita Winnie the Pooh dan menjadikan setiap lagu yang ia nyanyikan beradaptasi dengan sempurna pada seluruh adegan yang ada di dalam film.
Pernyataan bahwa Winnie the Pooh akan bekerja dengan sangat baik pada setiap penonton muda jelas bukanlah sebuah pernyataan baru lagi. Dengan jalan cerita yang sederhana, karakter-karakter yang begitu mudah untuk disukai serta humor-humor ringan yang mengalir di tengah tema persahabatan yang erat akan mampu membuat setiap penonton muda jatuh cinta terhadap franchise yang telah berusia hampir setengah abad ini. Bagi penonton dewasa? Rasanya juga tidak akan bermasalah. Seperti halnya setiap film Walt Disney lainnya, film ini akan mampu mengeluarkan jiwa anak-anak setiap penontonnya dan membuat mereka mengenang masa-masa indah tersebut. Menyaksikan Winnie the Pooh hampir seperti mengunjungi sahabat lama Anda: penuh dengan kenangan indah, menyenangkan, hangat dan membuat Anda tidak ingin momen tersebut segera berakhir.

sumber : @http://amiratthemovies.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar